Sebelumnya maaf, judul diatas bukan ditujukan untuk semua band surabaya. Tapi band2 baru yang bermunculan di surabaya saat ini terancam kehormatannya di mata publik. Bahkan tidak menutup kemungkinan kehormatan band2 yang akan bermunculan di tahun2 berikutnya ikut merosot.
Berawal pada awal 2009 ketika salah satu SMU di kawasan rungkut yang melihat adanya peluang untuk "memanfaatkan" keadaan band2 indie surabaya saat itu. Puluhan proposal & profile band dikumpulkan di ruang OSIS. Karena tak juga mendapat jawaban tentang "diterima" atau tidaknya band tersebut utk menjadi salah satu pemanis pensi SMU, semua perwakilan band2 itu terus2an menelepon ke pengurus OSIS yang juga panitia pensi. Hal ini dimanfaatkan anak2 OSIS tersebut yang waktu itu kehabisan akal untuk menjual tiket sebanyak - banyaknya, demi target yang diberikan kepala sekolah dan sponsor2 mereka. Akhirnya mereka tetap memilih beberapa band yang menurut mereka "mantap" hasil rekamannya. Dan mereka memberi syarat untuk band2 yg ingin tampil di pensi tersebut. Syarat itu adalah:
"setiap band tidak diberi fee,tapi nama ditaruh di semua materi publikasi, tapi wajib menjual minimal 100 tiket pensi. Semakin banyak jumlah tiket yang dijual, rundown band akan semakin keatas (mendekati penghujung acara yg notabene pasti wakeh penontone)"
Sungguh disayangkan, bukannya merasa malu, terhina, atau merasa kurang dihargai. Band2 yg kala itu mengajukan profile malah berlomba - lomba menelepon malah ngotot berkata "OK. Kami sanggup kok. Kami bantu kalian jualin tiket !! Yang penting band kami main ya ?"
Apa yang terjadi ? Sukses !! Apanya yang sukses ?? Tentu panitia acara alias anak2 SMU tersebut. Dari 10 band tak satupun yang gagal menjual kurang dari 100 tiket per band. Artinya sudah 1000 tiket dijualkan oleh para pelacur...eh...para band tersebut. Artinya mereka sudah menyetor 1000 x Rp 15.000 (harga tiket) = Rp 15.000.000 !!. Wow..lumayanlah buat nutup biaya produksi.
Ide tersebut ditiru oleh beberapa SMU yang berikutnya mengadakan pensi. Dengan berbagai macam motif dan inovasi baru. seperti:
"tiap band dibayar Ro blablabla, tapi wajib jual 100 tiket"
"tiap band tidak wajib jual tiket, tapi harus kolektif Rp blablabla"
"band yg ingin namanya tercantum di poster wajib kolektifan or jual tiket senilai sekian2"
Hal tersebut saat ini menjadi tren di kalangan pensi SMU. Secara tidak disadari, band2 yang "mengemis pensi dengan berbagai cara" alias "lu butuh apa, gue bisa bantu" justru tidak akan NAIK KELAS !!. Mereka justru mendukung perluasan tren band jual tiket tersebut. Mereka mungkin akan semakin terkenal di surabaya, tapi mereka tidak akan mendapat perhatian media dan promotor. Saya jamin itu. Alasannya: mereka hanyalah band jualan tiket. Mereka bukan profesional. Padahal sekecil apapun nama sebuah band, mereka harus berlaku seperti profesional. Jika ingin menjadi sesuatu yang besar, bukankah kita harus memulai kebiasaan2 yang besar ?. Mereka justru ikut menjatuhkan nama band2 indie lain. Tidak sadarkah kalian bahwa adik2 SMU kita sering bertukar pikiran lintas SMU dan ujung2nya salah satu dari mereka memberi saran "pake band A aja. Atau pake band B. Ga perlu ngasih fee kok. Malah mereka ikut bantu jualin tiket. Enak kan, mereka jualin tiket, padahal penonton juga datang nonton mereka. Dobel2 deh kita dapet untung". What the fuck ??
Guys...mari kita boikot tren ini !! Lebih baik tidak manggung di pensi berbulan - bulan daripada kita mendukung tren yang teramat sangat tidak normal in (bukan berarti tidak manggung di pensi SMU lho. Ya manggung, tp jangan ikutan jualan tiket). Perlahan - lahan adik2 SMU kita akan mulai sadar betapa mereka butuh band2 yang berkualitas di atas dan dibawah panggung. Bersabarlah untuk menjadi besar, berstrategilah yang benar. Salam sukses !!
NB: Saya rasa kolektif band seharusnya hanya berlaku untuk sebuah acara komunitas. Acara komunitas adalah sebuah elemen penting silaturahmi antar band. Apalagi, acara komunitas cenderung tanpa sponsor dan venue kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar